jump to navigation

Draft Rancangan Undang-Undang Hortikultura (6-4-2010) April 6, 2010

Posted by dhnhorti in RUU.
trackback

DRAFT RUU HORTIKULTURA

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR …TAHUN …

TENTANG

HORTIKULTURA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :  a.     bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana  diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.     bahwa salah satu kekayaan alam Indonesia berupa tanaman hortikultura sebagai kekayaan hayati yang sangat penting, sumber pangan bergizi, estetika dan obat-obatan yang bermanfaat dan berperan besar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara berkelanjutan;

c.     bahwa peraturan perundang-undangan  yang ada belum dapat  memberikan kepastian dalam pengembangan hortikultura sesuai perkembangan dan tuntutan dalam masyarakat;

d.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Hortikultura;

Mengingat  :   Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN  REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan    :

UNDANG-UNDANG TENTANG HORTIKULTURA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Hortikultura adalah kegiatan yang berkaitan dengan proses perencanaan, pengembangan, perlindungan, usaha, pemberdayaan dan pembiayaan yang berhubungan dengan buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut).
  2. Florikultura adalah  usaha hortikultura untuk menghasilkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan estetika yang berbasis tumbuh-tumbuhan.
  3. Tanaman hortikultura adalah tanaman yang menghasilkan buah, sayuran, bagian tumbuhan yang berkhasiat obat dan yang tanaman yang menciptakan estetika.
  4. Produk hortikultura adalah semua hasil panen yang berasal dari tanaman hortikultura yang masih segar untuk keperluan konsumsi, estetika, farmakoseutika dan/atau kegunaan lain.
  5. Pewilayahan hortikultura adalah penetapan wilayah untuk pengembangan usaha budidaya dan/atau industri hortikultura dengan memperhatikan potensi wilayah yang bersangkutan yang ada.
  6. Kawasan hortikultura adalah hamparan sebaran usaha hortikultura yang disatukan oleh faktor pengikat tertentu, baik faktor alamiah, sosial budaya, maupun faktor infrastruktur buatan.
  7. Perkebunan hortikultura adalah lahan beserta kegiatan didalamnya yang mengusahakan budidaya tanaman buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut)
  8. Sumberdaya genetik hortikultura adalah tumbuhan, organ tumbuhan, jaringan, sel, kromosom dan DNA yang berasal dari tumbuhan lokal maupun hasil introduksi, alami atau hasil rekayasa genetik yang mempunyai nilai nyata atau potensial untuk pemuliaan.
  9. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada pelaku usaha, produk, proses, dan usaha hortikultura.
  10. Pelaku usaha hortikultura adalah perorangan, kelompok, badan usaha, atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha hortikultura.
  11. Sarana produksi hortikultura adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dan/atau bahan yang dibutuhkan dalam/untuk melakukan kegiatan usaha hortikultura antara lain meliputi benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin.
  12. Benih hortikultura adalah tanaman hortikultura atau bagian darinya yang dapat digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman hortikultura,  baik secara alami maupun artifisial.
  13. Pupuk adalah nutrisi bagi tanaman yang diperoleh dari mineral, enzim, fitohormon atau mikro organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
  14. Organisme pengganggu tumbuhan yang selanjutnya disebut OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan.
  15. Bahan pengendali OPT adalah bahan kimia sintetik, bahan alami atau bukan sintetik, jasad hidup, dan bahan lainnya yang digunakan untuk mengendalikan OPT dalam usaha hortikultura.
  16. Alat dan mesin untuk usaha hortikultura meliputi antara lain naungan, alat irigasi, fertigasi, otomatisasi, robot, komputer, perangkat lunak, alat kontrol.
  17. Pemuliaan tanaman hortikultura, yang selanjutnya disebut pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas tanaman hortikultura yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas tanaman hortikultura baru yang lebih baik.
  18. Varietas tanaman hortikultura adalah bagian dari suatu jenis tanaman hortikultura yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-sifat lain yang dapat dibedakan dalam jenis yang sama.
  19. Perlindungan varietas tanaman hortikultura adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor perlindungan varietas tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
  20. Usaha produksi hortikultura adalah semua kegiatan untuk menghasilkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan  buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut).
  21. Usaha perniagaan hortikultura adalah semua kegiatan untuk mendistribusikan, memperdagangkan dan memasarkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan buah, sayuran, tanaman berkhasiat obat, dan florikultura (termasuk didalamnya tanaman air, jamur dan lumut)
  22. Industri hortikultura adalah kegiatan pengolahan produk hortikultura untuk menghasilkan produk olahan hortikultura yang mempunyai nilai tambah.
  23. Jasa hortikultura adalah kegiatan berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan produk, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya dari hortikultura yang dapat dinikmati.
  24. Wisata agro berbasis hortikultura, yang selanjutnya disebut  Wisata agro merupakan kegiatan pengembangan kawasan atau lahan usaha hortikultura sebagai obyek wisata baik secara sendiri atau sebagai bagian dari kawasan wisata yang lebih luas bersama obyek wisata yang lain.
  25. Akreditasi adalah proses pengakuan akan kompetensi suatu badan usaha untuk melakukan sertifikasi.
  26. Insentif adalah pengakuan/aktualisasi yang diberikan oleh pemerintah, baik berupa natura maupun non natura.
  27. Distribusi merupakan kegiatan pengiriman produk hortikultura dari lokasi pascapanen sampai ke konsumen yang meliputi kegiatan pergudangan, bongkar/muat, pengangkutan.
  28. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  29. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  30. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi urusan hortikultura, secara langsung maupun tidak langsung.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN

Pasal 2

Penyelenggaraan hortikultura berdasarkan pada asas:

  1. kedaulatan;
  2. kebermanfaatan;
  3. keterpaduan;
  4. kebersamaan;
  5. keterbukaan;
  6. keberlanjutan;
  7. keadilan;
  8. kelestarian fungsi lingkungan; dan
  9. kearifan lokal.

Pasal 3

Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk:

  1. mengelola dan mengembangkan sumberdaya hortikultura secara optimal,  bertanggungjawab, dan lestari;
  2. memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, estetika, dan budaya masyarakat terhadap produk dan jasa hortikultura;
  3. meningkatkan produksi, produktivitas, cadangan pangan, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar;
  4. meningkatkan konsumsi produk dan pemanfaatan jasa hortikultura;
  5. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;
  6. memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dan konsumen hortikultura nasional;
  7. menjadi sumber devisa Negara; dan
  8. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;

Pasal 4

Penyelenggaraan hortikultura meliputi:

  1. perencanaan;
  2. pewilayahan;
  3. pemanfaatan sumberdaya alam;
  4. pengembangan sumberdaya manusia;
  5. pengadaan sumberdaya buatan;
  6. peningkatan konsumsi;
  7. pembinaan usaha;
  8. penataan perniagaan;
  9. manajemen kelembagaan;
  10. pelibatan peran serta masyarakat;
  11. penelitian;
  12. pengawasan;
  13. penyidikan;
  14. sanksi administratif;
  15. ketentuan pidana; dan
  16. ketentuan penutup.

BAB III

PERENCANAAN HORTIKULTURA

Pasal 5

(1)       Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, penyelenggaraan hortikultura direncanakan dengan merancang proses pengembangan dan pembangunan, serta sasaran hortikultura.

(2)       Perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan landasan:

  1. daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan;
  2. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi;
  3. kebutuhan teknis dan ekonomis;
  4. peningkatan kesejahteraan dan daya beli masyarakat;
  5. pertumbuhan ekonomi dan produktivitas;
  6. rencana pembangunan nasional dan daerah;
  7. rencana tata ruang wilayah dan lingkungan;
  8. kebutuhan prasarana dan sarana;
  9. kebutuhan kelembagaan;
  10. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 6

(1)       Perencanaan hortikultura mencakup aspek:

  1. pewilayahan;
  2. pemanfaatan sumberdaya alam;
  3. pengembangan sumberdaya manusia;
  4. pengadaan sumberdaya buatan;
  5. peningkatan konsumsi;
  6. pembinaan usaha;
  7. penataan perniagaan;
  8. manajemen kelembagaan;
  9. pelibatan peran serta masyarakat;
  10. penelitian;

(2)       Aspek perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan yang utuh dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Pasal 7

Perencanaan hortikultura terdiri atas:

  1. perencanaan jangka panjang;
  2. perencanaan jangka menengah; dan
  3. perencanaan jangka pendek.

Pasal 8

(1)       Perencanaan hortikultura merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah dan perencanaan pembangunan sektoral.

(2)       Perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan  oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat.

(3)       Penyelenggaraan perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.

Pasal 9

(1)       Perencanaan hortikultura nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan hortikultura  provinsi.

(2)       Perencanaan hortikultura provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan hortikultura kabupaten/kota.

BAB IV

PERWILAYAHAN HORTIKULTURA

Wilayah Hortikultura

Pasal 10

(1)       Hortikultura dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan dalam wilayah tersendiri dan/atau berintegrasi dengan wilayah usaha lainnya.

(2)       Penyelenggaraan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan diluar kawasan konservasi terkecuali untuk kegiatan penelitian atau konservasi.

(3)       Penyelenggaraan hortikultura dapat memanfaatkan ruang wilayah tersendiri, bertumpangsari dengan tanaman lain  atau berintegrasi dengan ruang wilayah kegiatan lain.

Pasal 11

Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah hortikultura yang mengakibatkan penggusuran maka harus disediakan terlebih dahulu ruang wilayah lain yang setara sebagai penggantinya.

Pasal 12

(1)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah membina sinergi  penyelenggaraan hortikultura yang bertumpangsari dengan tanaman lain atau berintegrasi dengan ruang wilayah kegiatan lain.

(2)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi pemanfaatan lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk usaha budidaya tanaman hortikultura semusim.

Kawasan hortikultura

Pasal 13

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bersama masyarakat merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura.

Pasal 14

(1)       Untuk mengembangkan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13:

  1. pemerintah menetapkan kawasan hortikultura nasional.
  2. b.  pemerintah provinsi   menetapkan kawasan hortikultura propinsi;
  3. pemerintah kabupaten/kota  menetapkan kawasan hortikultura kabupaten/kota.

(2)       Persyaratan mengenai kawasan hortikultura diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

Dengan penetapan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib:

  1. melengkapi kawasan hortikultura tersebut dengan prasarana yang dibutuhkan;
  2. memadukan pengembangan kawasan hortikultura tersebut bersama-sama dengan semua sektor yang terkait.
  3. melakukan pembinaan untuk  mengembangkan kawasan hortikultura tersebut;
  4. menjamin keamanan kawasan hortikultura tersebut dari gangguan fisik, biologis, dan kimiawi dan lainnya.

Klasifikasi Perkebunan Hortikultura

Pasal 16

(1)       Klasifikasi perkebunan hortikultura dibagi sebagai berikut:

  1. perkebunan hortikultura  besar;
  2. perkebunan hortikultura  menengah; dan
  3. perkebunan hortikultura   kecil.

(2)       Perkebunan  hortikultura besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan lahan lebih dari 30 (tigapuluh) hektar

(3)       Perkebunan  hortikultura menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan lahan 5 (lima) hektar sampai dengan 30 (tigapuluh) hektar

(4)       Perkebunan  hortikultura kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menggunakan lahan kurang dari (5) hektar

Pasal 17

(1)       Perkebunan besar hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a wajib dilengkapi dengan Hak Guna Usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan .

(2)       Perkebunan menengah hortikultura  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b wajib dilengkapi dengan Izin Usaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

(3)       Perkebunan kecil hortikutura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c wajib didaftarkan ke pemerintah kabupaten/kota.

(4)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan registrasi perkebunan hortikultura.

BAB V

PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM HORTIKULTURA

Sumberdaya Lahan Hortikultura

Pasal 18

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan lahan untuk usaha hortikultura yang berkelanjutan.

(2)       Pemerintah wajib mensertifikasi tanah yang digunakan untuk lahan usaha hortikultura.

Pasal 19

(1)       Tanah atau media tumbuh lainnya yang dipergunakan untuk budidaya hortikultura harus dilindungi, dipulihkan, ditingkatkan, dan diperlihara fungsinya.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai  perlindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur  Peraturan Menteri.

(3)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha mengembangkan penggunaan media tumbuh lain sebagai alternatif pengganti media tanah untuk usaha budidaya hortikultura.

Sumberdaya Air Hortikultura

Pasal 20

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan hak guna pakai air untuk usaha hortikultura.

(2)       Pemakaian air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kaidah konservasi air dan penerapan kaidah pertanian berkelanjutan.

(3)       Air untuk usaha hortikultura dapat diambil dari sumber air yang ada atau sistem irigasi yang tersedia.

(4)       Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan baku mutu air untuk usaha hortikultura yang ditetapkan dengan peraturan Menteri.

Pasal 21

(1)       Air untuk usaha hortikultura dapat diambil dari sumber air yang sama atau dari sistem irigasi yang sama dengan air untuk usaha lainnya.

(2)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengalokasikan air yang cukup untuk kegiatan usaha hortikultura yang berkelanjutan.

(3)       Dalam hal ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan/atau kawasan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur kebutuhan air secara berkeadilan.

(4)       Pelaku usaha hortikultura harus meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan tetap memperhatikan keberhasilan produksi dan mutu.

Lingkungan dan iklim

Pasal 22

(1)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha mengembangkan varietas tanaman hortikultura yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim

(2)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha mengembangkan teknologi yang mampu mengatasi cekaman lingkungan.

(3)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha mencegah kegiatan yang mencemari lingkungan dan menyebabkan pemanasan global.

(4)       Usaha budidaya hortikultura dibebaskan dari pajak lingkungan.

(5)       Pemerintah memberikan penghargaan kepada usaha hortikultura yang ramah lingkungan.

Konservasi

Pasal 23

(1)       Dalam melakukan konservasi di lahan-lahan kritis dan daerah aliran sungai Pemerintah bersama pemerintah daerah mengutamakan penanaman pohon  buah, pohon sayuran (pete, melinjo, jengkol), dan pohon berkhasiat obat .

(2)       Pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berhasil melakukan konservasi sumberdaya alam dengan kegiatan hortikultura.

Sumberdaya Genetik Hortikultura

Pasal 24

Sumberdaya genetik hortikultura harus dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25

(1)       Pemerintah mendaftar, mendokumentasikan dan memelihara sumberdaya genetik  hortikultura.

(2)       Pendaftaran, pendokumentasian dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama masyarakat dan/atau badan hukum Indonesia.

(3)       Pemerintah menetapkan dan meregistrasi pohon induk yang menjadi sumber bahan perbanyakan tanaman.

(4)       Pohon induk dilarang ditebang tanpa izin dari Menteri.

Pasal 26

(1)       Bahan perbanyakan dari sumberdaya genetik  hortikultura yang terancam punah dilarang diperdagangkan.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai sumberdaya genetik hortikultura yang terancam punah diatur dalam Peraturan Menteri

Pasal 27

(1)       Pemerintah memberikan kemudahan untuk pengayaan sumber daya genetik  hortikultura  nasional melalui berbagai metode pengayaan.

(2)       Kepemilikan, pemanfaatan dan tukar menukar sumber daya genetik hortikultura dalam rangka kegemaran, usaha, sosial, dan kemanusiaan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI

PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA

Pasal 28

(1)       Warga negara Indonesia wajib diutamakan dalam penguatan, pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya manusia hortikultura.

(2)       Warga negara asing dapat diizinkan bekerja di Indonesia dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuannya yang bermanfaat bagi pengembangan hortikultura.

(3)       Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi keahlian dan kemampuan warga negara asing yang bermanfaat bagi pengembangan hortikultura Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29

(1)       Pemerintah menyelenggarakan pendidikan hortikultura pada masyarakat umum sejak tingkat pendidikan dasar dengan memasukkan materi hortikultura dalam kurikulum pendidikan.

(2)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan pendidikan kejuruan hortikultura di setiap kabupaten/kota.

(3)       Pemerintah menyelenggarakan pendidikan tinggi hortikultura di setiap propinsi.

Pasal 30

Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha meningkatkan keahlian dan keterampilan pelaku usaha melalui berbagai metode pelatihan.

Pasal 31

(1)       Pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku usaha menyelenggarakan penyuluhan hortikultura.

(2)       Pemerintah daerah wajib menyediakan minimal satu orang tenaga penyuluh hortikultura di setiap kecamatan.

(3)       Pemerintah daerah wajib menyediakan minimal satu orang tenaga penyuluh hortikultura di setiap desa yang termasuk di dalam kawasan hortikultura.

Pasal 32

(1)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha hortikultura memberikan pembimbingan kepada pelaku usaha pemula, mikro dan kecil.

(2)       Pelaku usaha wajib menyelenggarakan pemagangan bagi siswa, pelaku  usaha pemula, mikro dan kecil.

(3)       Pelaku usaha menengah dan besar hortikultura wajib melakukan pendampingan pada usaha pemula, mikro dan kecil.

Pasal 33

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pelaku usaha.

(2)       Pemerintah atau lembaga yang terakreditasi menyelenggarakan sertifikasi profesi dan kompetensi kepada pelaku usaha.

(3)       Jenis-jenis profesi dan kompetensi di bidang hortikultura diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII

PENGADAAN SUMBERDAYA BUATAN

Paragraf 1

Pembiayaan dan penjaminan

Pasal 34

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan Anggaran Belanja Negara  dan Anggaran Belanja Daerah sebesar 30% (tiga puluh persen) dari anggaran untuk sektor pertanian.

(2)       Pemerintah menetapkan persentase portfolio kredit dari lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan syariah, untuk pengembangan hortikultura.

(3)       Pemerintah menetapkan suku bunga kredit untuk usaha hortikultura minimal 30% (tiga puluh persen) dibawah suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia.

Pasal 35

(1)       Pemerintah menugaskan lembaga keuangan tertentu untuk memberikan pinjaman usaha hortikultura.

(2)       Usaha mikro dan kecil hortikultura dapat memperoleh fasilitasi dan pinjaman tanpa agunan dari lembaga keuangan pada ayat (1).

(3)       Pinjaman pada ayat (2) diberikan berdasarkan kelayakan usaha yang dinilai oleh si pemberi pinjaman.

(4)       Pemerintah memberikan jaminan atas pinjaman pada ayat (3) maksimal sebesar omzet tertinggi usaha mikro dan usaha kecil yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

(1)       Pemerintah mengutamakan penanaman modal dalam negeri.

(2)       Penyertaan modal asing hanya dapat dilakukan dalam badan usaha perusahaan menengah dan badan usaha perusahaan besar hortikultura.

(3)       Besarnya penyertaan modal asing pada ayat (2) dibatasi sebesar-besarnya 49% (empat puluh sembilan persen).

(4)       Modal asing harus disetor penuh pada saat pendirian badan hukum perusahaan patungan.

(5)       Badan usaha hortikultura dengan penyertaan modal asing dilarang memperoleh kredit dari bank atau lembaga pembiayaan dalam negeri.

Pasal 37

Penanaman modal baru dalam usaha hortikultura mendapatkan pembebasan pajak penghasilan selama (5) lima tahun sejak saat mulai beroperasi.

Paragraf 2

Prasarana

Pasal 38

(1)       Pemerintah bersama pemerintah daerah membangun infrastruktur yang meliputi:

  1. sistem dan jaringan irigasi di wilayah budidaya;
  2. drainase dan pengolahan limbah;
  3. tenaga listrik dan jaringannya sampai ke lokasi pascapanen;
  4. air bersih dan jaringannya sampai ke lokasi pasca panen;
  5. jalan penghubung dari lokasi budidaya ke lokasi pasca panen sampai ke pasar;
  6. pelabuhan dan area transit.
  7. sistem dan jaringan komunikasi sampai ke lokasi budidaya;
  8. sistem dan jaringan informasi sampai ke desa, terutama desa yang berada di dalam kawasan hortikultura.
  9. Pasar

(2)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi insentif kepada pelaku usaha yang membangun infrastruktur sendiri.

Paragraf 3

Sarana dan Teknologi

Pasal 39

(1)       Hortikultura wajib menggunakan sarana produksi dan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan.

(2)       Sarana produksi dan teknologi hortikultura yang digunakan diutamakan yang diperoleh dari sumber di dalam negeri.

(3)       Sarana produksi dan teknologi hortikultura yang diperoleh dari sumber di luar negeri dapat digunakan apabila lebih efisien dan lebih ramah lingkungan.

(4)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha memutakhirkan dan mengembangkan sarana produksi dan teknologi hortikultura secara terus menerus.

(5)       Pemerintah memberikan insentif pada pengembangan sarana produksi dan teknologi yang berbasis pada sumberdaya dalam negeri.

Pasal 40

(1)       Pemerintah melakukan pendaftaran terhadap sarana produksi dan teknologi hortikultura yang diedarkan.

(2)       Pemerintah menetapkan persyaratan dan standar mutu yang harus dipenuhi oleh sarana produksi dan teknologi hortikultura yang diedarkan.

Pasal 41

Produsen, distributor dan pengecer, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, harus bertanggungjawab untuk menjamin bahwa sarana produksi dan/atau teknologi hortikultura yang diedarkannya memenuhi persyaratan dan/atau standar mutu.

Pasal 42

(1)       Produsen, distributor dan pengecer sarana produksi hortikultura harus memberikan label pada kemasan terkecil setiap produk yang diedarkan.

(2)       Label tersebut pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencantumkan nama dan alamat produsen, serta nomor registrasi usaha.

(3)       Label yang dimaksud  pada ayat (1) dan ayat (2) untuk benih berupa biji sekurang-kurangnya mencantumkan juga: jenis; varietas; potensi hasil; petunjuk penanaman; persyaratan lahan dan agroklimat; cara penyimpanan; dan tanggal kadaluarsa.

(4)       Label yang dimaksud  pada ayat (1) dan ayat (2) untuk benih berupa bagian tanaman lainnya yang tidak termasuk dalam ayat (3) sekurang-kurangnya mencantumkan juga: jenis; varietas; asal tanaman induk; nomor registrasi tanaman induk, petunjuk penanaman; persyaratan lahan dan agroklimat.

(5)       Label yang dimaksud  pada ayat (2) dan ayat (3) untuk pupuk dan bahan pengendali OPT sekurang-kurangnya mencantumkan juga: kandungan; daya kerja; cara pemakaian; petunjuk keselamatan; cara penyimpanan; dan tanggal kadaluarsa.

(6)       Label yang dimaksud  pada ayat (2) dan ayat (3) untuk alat sekurang-kurangnya mencantumkan juga: petunjuk pemakaian, jaminan atas kinerja produk, petunjuk keselamatan, cara pemeliharaan.

(7)       Label yang dimaksud  pada ayat (2) dan ayat (3) untuk mesin sekurang-kurangnya mencantumkan juga: petunjuk pemakaian, jaminan atas kinerja produk, petunjuk keselamatan, sertifikat uji, cara pemeliharaan.

Pasal 43

(1)       Pemerintah menetapkan persyaratan tentang:

  1. sarana transportasi untuk angkutan hortikultura;
  2. sarana penanganan produk hortikultura
  3. sarana pengolahan produk hortikultura

(2)       Persyaratan tersebut pada ayat (1) mengacu pada persyaratan internasional tentang:

  1. Cara pengangkutan yang baik
  2. Cara penanganan yang baik
  3. Cara pengolahan yang baik

Paragraf 4

Informasi

Pasal 44

(1)       Pemerintah wajib menyajikan informasi  nasional dan pemerintah daerah wajib menyajikan informasi lokal yang untuk setiap komoditi hortikultura yang bertujuan untuk mengendalikan keseimbangan pasokan dan kebutuhan serta menekan fluktuasi harga.

(2)       Informasi tersebut pada ayat (1) berisi tentang perkiraan:

  1. permintaan pasar;
  2. peluang pasar;
  3. harga;
  4. produksi dan pasokan.

(3)       Informasi pada ayat (2) harus  diperbarui setiap hari untuk produk hortikultura semusim.

(4)       Pemerintah menyajikan informasi mengenai sumber-sumber:

  1. pembiayaan,
  2. sarana produksi hortikultura,
  3. ilmu pengetahuan;
  4. teknologi; dan
  5. standarisasi

(5)       Informasi tersebut pada ayat (2)  dan ayat (4) tersebut harus dapat diakses setiap saat dan dengan mudah melalui berbagai media oleh pelaku usaha hortikultura.

Pasal 45

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun dan mempublikasikan data statistik tentang produk hortikultura yang akurat setiap bulan.

(2)       Pemerintah membuat analisa mengenai situasi dan kondisi hotikultura Indonesia dan mempublikasikannya setiap enam bulan.

BAB VIII

KONSUMSI

Pasal 46

(1)       Buah dan sayuran adalah produk pangan yang termasuk dalam kelompok bahan pokok.

(2)       Sebagai bahan pokok maka buah dan sayuran termasuk golongan barang bebas pajak.

(3)       Pemerintah wajib mencapai angka konsumsi buah dan sayuran per kapita per tahun sesuai dengan pedoman FAO pada tahun 2020.

Pasal 47

(1)       Produk hortikultura yang berasal dari impor harus memenuhi persyaratan dan standar mutu yang diatur dengan peraturan Menteri.

(2)       Persyaratan pada ayat (1) antara lain meliputi pelabelan pada kemasan terkecil yang mencantumkan antara lain:

  1. tanggal panen
  2. asal kebun
  3. nomor registrasi kebun
  4. standar kualitas
  5. tanggal dikemas
  6. nama dan alamat pengemas
  7. nama dan alamat eksportir
  8. nama dan alamat importir dan distributor

Pasal 48

(1)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha melakukan promosi untuk meningkatkan konsumsi produk hortikultura khususnya hasil produksi dalam negeri.

(2)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan masyarakat mengutamakan konsumsi produk hortikultura disetiap kegiatan kedinasan, keagamaan, dan kegiatan sosial lainnya.

Pasal 49

(1)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan masyarakat mengembangkan budidaya tanaman buah dan sayuran di setiap rumah tangga sebagai cadangan pangan.

(2)       Setiap desa wajib menanam dan memelihara pohon buah sekurang-kurangnya sejumlah populasi warganya.

(3)       Setiap rumah tangga wajib untuk menanam dan memelihara tanaman hortikultura sekurang-kurangnya sejumlah anggota keluarganya.

(4)       Setiap ruang kerja dan ruang usaha wajib memiliki dan memelihara tanaman hortikultura didalamnya.

BAB IX

PEMBINAAN USAHA PRODUKSI HORTIKULTURA

Bagian ke-satu

Umum

Pasal 50

Usaha produksi hortikultura meliputi usaha:

  1. perbenihan
  2. pupuk dan bahan pengendali OPT
  3. alat dan mesin
  4. budidaya
  5. pasca panen
  6. industri pengolahan
  7. jasa hortikultura
  8. penyelenggaraan wisata agro
  9. sertifikasi usaha

Pasal 51

(1)       Semua usaha produksi hortikultura  sebagaimana dimaksud dalam Pasal (50) ayat (1) harus didaftar.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran usaha produksi hortikultura diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 52

(1)       Usaha produksi hortikultura terdiri dari usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar.

(2)       Kriteria  usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)       Usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan lebih tinggi dari kriteria usaha menengah  sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 53

(1)       Usaha produksi hortikultura mikro dan kecil hanya dapat diselenggarakan oleh pelaku usaha Indonesia.

(2)       Usaha  hortikultura menengah dan besar dapat diselenggarakan oleh  pelaku usaha asing yang berpatungan dengan pelaku usaha Indonesia.

(3)       Penyertaan modal asing dalam usaha patungan pada ayat (2) dibatasi sebanyak-banyaknya 49% (empat puluh sembilan persen)

(4)       Kemitraan usaha produksi hortikultura dapat dilakukan dengan melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan besar.

(5)       Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berbentuk kontrak budidaya, bagi hasil, dan kerjasama operasional.

Pasal 54

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah mengutamakan pengembangan:

  1. usaha mikro dan kecil;
  2. usaha hortikultura yang ramah lingkungan;
  3. usaha hortikultura yang mengembangkan komoditas unggulan nasional dan daerah;
  4. usaha budidaya organik; dan/atau
  5. usaha hortikultura yang menggunakan teknologi yang efisien

(2)       Pengutamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa  fasilitasi dan pemberian insentif.

(3)       Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:

  1. kemudahan perijinan;
  2. pemanfaatan lahan; dan
  3. penjaminan kredit usaha mikro dan kecil.

(4)       Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:

  1. keringanan pajak dan retribusi;
  2. sertifikasi;
  3. penghargaan; dan
  4. pembiayaan untuk penerbitan sertifikat tanah, khususnya untuk usaha mikro dan kecil.

Bagian ke-dua

Perbenihan

Pasal 55

(1)       Usaha perbenihan harus dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat profesi dan/atau sertifikat kompetensi, atau badan usaha yang terakreditasi dalam bidang perbenihan.

(2)       Usaha perbenihan dilakukan melalui upaya pemuliaan,  perbanyakan materi tumbuhan, serta introduksi dari luar negeri.

Pasal 56

(1)       Varietas-varietas lokal yang ada di daerah wajib didaftarkan oleh pemerintah daerahnya.

(2)       Hasil upaya pemuliaan dan introduksi berupa varietas baru dan unggul wajib didaftarkan kepada Pemerintah.

(3)       Kebenaran dan keunggulan varietas yang akan diedarkan diuji oleh lembaga penguji yang kompeten yang mewakili kepentingan pembudidaya.

(4)       Persyaratan dan tata laksana  lembaga penguji pada ayat  (3) ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 57

(1)       Pelepasan dan  peredaran  varietas yang sudah terdaftar menjadi tanggungjawab pemilik varietas atau kuasanya.

(2)       Pemilik varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pemerintah mengenai pelepasan dan peredaran varietas.

Pasal 58

Perlindungan varietas tanaman dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian ke-tiga

Pupuk dan Bahan Pengendali OPT

Pasal 59

(1)       Usaha menengah dan besar produsen pupuk dan bahan pengendali OPT wajib melaporkan jumlah produksi setiap bulan.

(2)       Usaha menengah dan besar distributor dan pengecer pupuk dan bahan pengendali OPT wajib melaporkan jumlah penjualannya setiap bulan.

(3)       Usaha menengah dan besar budidaya hortikultura wajib melaporkan penggunaan pupuk dan bahan pengendali OPT setiap enam bulan.

(4)       Laporan yang dimaksud pada ayat (3) berisi antara lain: nama, jenis; jumlah, waktu penggunaan.

Bagian ke-empat

Alat dan Mesin

Pasal 60

Produsen, distributor dan/atau pengecer alat dan mesin harus memberikan pelayanan purna jual, pelatihan penggunaan, menyediakan suku cadang dan fasilitas perbaikan sejak saat produk mulai diedarkan dan sekurangnya untuk jangka waktu lima tahun sejak produk berhenti diedarkan.

Bagian ke-lima

Budidaya

Pasal 61

(1)       Usaha budidaya hortikultura dilakukan dengan memperhatikan:

  1. permintaan pasar;
  2. sistem budidaya yang baik ;
  3. efisiensi dan daya saing;
  4. fungsi lingkungan; dan
  5. kearifan lokal.

(2)       Ketentuan mengenai sistem budidaya yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam dengan Peraturan Menteri.

(3)       Pola budidaya nirlimbah wajib menjadi salah satu unsur dalam sistem budidaya yang baik.

Pasal 62

(1)       Pelaku usaha budidaya hortikultura merencanakan usahanya dengan memperhatikan informasi yang disediakan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagaimana tercantum pada Pasal 44 ayat (1).

(2)       Pelaku usaha budidaya hortikultura bebas menentukan sendiri pilihan jenis tanaman.

(3)       Pelaku usaha budidaya wajib melaporkan jenis dan jumlah tanaman yang sedang dan akan dibudidayakan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(4)       Pelaku usaha budidaya wajib melaporkan hasil panennya kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 63

(1)       Pelaku usaha dilarang membudidayakan jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat dan/atau mengganggu fungsi lingkungan hidup.

(2)       Pelarangan pembudidayaan jenis tanaman hortikultura sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi  kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3)       Budidaya jenis tanaman hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan dan mendapatkan ijin khusus yang diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian ke-enam

Pasca panen

Pasal 64

(1)       Pascapanen meliputi kegiatan antara lain:

  1. pembersihan;
  2. pencucian;
  3. pengeringan;
  4. pengupasan;
  5. sortasi;
  6. pengkelasan;
  7. pengolahan primer;
  8. pengawetan;
  9. pengemasan;  dan
  10. penyimpanan.

(2)       Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan untuk mempertahankan  mutu dan kesegaran, menekan kehilangan dan/atau kerusakan, dan meningkatkan nilai tambah.

Pasal 65

(1)       Kegiatan pascapanen dilakukan di rumah pascapanen atau di tempat yang memenuhi persyaratan kebersihan dan kesehatan.

(2)       Rumah pascapanen untuk produk ekspor wajib diakreditasi.

Bagian ke-tujuh

Industri Pengolahan

Pasal 66

(1)       Pengolahan meliputi kegiatan memproses produk hortikultura menjadi produk olahan hortikultura.

(2)       Kegiatan pengolahan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian ke-delapan

Jasa Hortikultura

Pasal 67

(1)       Usaha jasa hortikultura meliputi jasa:

  1. Konsultasi;
  2. Manajemen;
  3. Perdagangan;
  4. Pemasaran;
  5. Persewaan;
  6. Konstruksi;
  7. Pengolahan;
  8. Transportasi;
  9. Pergudangan.

(2)       Usaha penyelenggaraan jasa hortikultura harus diakreditisasi.

Bagian ke-sembilan

Wisata Agro

Pasal 68

(1)       Kawasan hortikultura dapat digunakan sebagai kawasan  wisata agro.

(2)       Wisata agro  diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pelaku usaha dalam negeri baik secara sendiri maupun bersama-sama.

(3)       Pelaku usaha asing dapat menyelenggarakan wisata agro bekerjasama dengan  pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku usaha dalam negeri.

(4)       Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus mengikutsertakan masyarakat setempat.

Pasal 69

(1)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur penetapan kawasan, pembinaan, dan pengawasan wisata agro.

(2)       Penetapan kawasan wisata agro  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempertimbangkan aspirasi masyarakat setempat.

(3)       Pemerintah menetapkan norma, standar, pedoman dan kriteria wisata agro.

Bagian ke-sepuluh

Sertifikasi dan Akreditasi Usaha

Pasal 70

(1)       Pemerintah atau lembaga yang  terakreditasi menyelenggarakan akreditasi dan sertifikasi atas usaha hortikultura.

(2)       Jenis-jenis akreditisasi dan sertifikasi ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(3)       Pedoman dan persyaratan untuk mendapatkan akreditasi dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

BAB X

PENATAAN PERNIAGAAN

Bagian ke-satu

Umum

Pasal 71

(1)       Perniagaan hortikultura meliputi kegiatan distribusi, perdagangan dan  pemasaran produk dan jasa hortikultura.

(2)       Penataan perniagaan hortikultura dilakukan untuk menjamin persaingan usaha yang sehat, mutu produk dan pelayanan, serta keadilan bagi pelaku usaha dan produk dalam negeri.

Pasal 72

(1)       Semua pelaku usaha perniagaan hortikultura  sebagaimana dimaksud dalam Pasal (71) ayat (1) harus didaftar.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran usaha perniagaan hortikultura diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 73

(1)       Produk hortikultura harus memenuhi standar keamanan pangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)       Produk pangan segar hortikultura harus memenuhi standar kelayakan konsumsi yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Distribusi

Pasal 74

(1)       Distribusi produk hortikultura merupakan kegiatan pengiriman dari lokasi pascapanen sampai ke konsumen yang meliputi kegiatan pergudangan, bongkar/muat, pengangkutan.

(2)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha  menyelenggarakan sistem distribusi yang cermat, tepat, cepat dan efisien untuk menjaga kesegaran, mutu dan ketersediaan di pasar.

(3)       Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama menjamin kelancaran distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)       Ketetapan mengenai standar penanganan dan transportasi yang baik dibuat oleh Menteri.

Pasal 75

Distribusi produk hortikultura harus dicatat untuk keperluan pendataan dan penelusuran balik.

Pasal 76

(1)       Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan prioritas sepanjang perjalanan pengangkutan produk hortikultura.

(2)       Pemerintah menyediakan lapangan dan bangunan penampungan di tempat-tempat strategis sepanjang jalur transportasi utama.

Bagian ke-tiga

Perdagangan

Pasal 77

(1)       Perdagangan hortikultura diselenggarakan dengan sistem tertutup atau sistem terbuka.

(2)       Dalam perdagangan tertutup produsen dan pembeli membuat perjanjian tertulis yang menyepakati jenis produk, jumlah, kualitas, waktu pengiriman dan harga sebelum produksi dimulai.

(3)       Dalam perjanjian tertulis sistem perdagangan tertutup pada ayat (2) harus ada transparansi pembagian fungsi, hak dan kewajiban, keuntungan dan resiko.

(4)       Dalam perdagangan terbuka, produsen bebas menjual langsung hasil produksinya ke pasar bebas dengan berbagai cara.

Pasal 78

(1)       Perdagangan antara produsen dan pedagang untuk komoditas hortikultura tertentu dan di wilayah tertentu harus dilakukan dengan cara pelelangan.

(2)       Pelelangan pada ayat (5) tersebut diselenggarakan oleh  Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, atau lembaga lelang yang terakreditasi.

(3)       Jenis komoditas tertentu dan wilayah tertentu pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 79

Usaha perdagangan menengah dan perdagangan besar wajib melaporkan transaksi harian perdagangannya.

Pasal 80

(1)       Produk hortikultura dari varietas yang tidak terdaftar dilarang untuk diekspor.

(2)       Produk hortikultura untuk ekspor harus memenuhi standar mutu dan persyaratan  yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(3)       Persyaratan pada ayat (1) antara lain meliputi keterangan tentang:

  1. tanggal panen
  2. asal kebun
  3. nomor registrasi kebun
  4. standar kualitas
  5. tanggal dikemas
  6. nama dan alamat pengemas
  7. nama dan alamat eksportir
  8. nama dan alamat importir

Pasal 81

(1)       Produk hortikultura segar tertentu asal impor yang sudah melebihi masa tertentu setelah tanggal panen dilarang untuk diedarkan.

(2)       Produk tertentu dan masa tertentu pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 82

(1)       Impor produk hortikultura tertentu hanya bisa dilakukan melalui pelabuhan tertentu pada masa tertentu.

(2)       Jenis produk hortikultura dan pelabuhan impor dan masa tertentu pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 83

(1)       Importir produk hortikultura wajib membayar iuran pembangunan hortikultura (IPH).

(2)       Besarnya iuran pembangunan hortikultura pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat hortikultura yang diwakili oleh Dewan Hortikultura Nasional.

(3)       Pemerintah melalui Menteri Keuangan, qq. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membantu melakukan pemungutan iuran pembangunan hortikultura.

Bagian Ke-empat

Pemasaran

Pasal 84

(1)       Pemerintah bersama  pemerintah daerah dan pelaku usaha menjaga keseimbangan pasokan dan kebutuhan produk hortikultura setiap saat sampai di tingkat lokal.

(2)       Keseimbangan pasokan dan kebutuhan dijaga antara lain dengan:

  1. Memberikan informasi produksi dan konsumsi yang akurat sebagaimana diatur pada Pasal 44.
  2. Menyelenggarakan distribusi sesuai dengan Pasal 74 ayat (2)
  3. Mengutamakan sistem perdagangan tertutup sebagaimana diatur pada Pasal 77 ayat (2) dan cara pelelangan yang diatur pada Pasal 78 ayat (1).
  4. Mengendalikan impor sebagaimana diatur pada Pasal 82.

Pasal 85

(1)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pasar induk hortikultura di setiap kota yang jumlah penduduknya lebih dari 1 (satu) juta orang.

(2)       Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mewajibkan setiap pasar yang memperdagangkan bahan pokok harus menyediakan tempat penggelaran produk hortikultura yang memenuhi persyaratan kebersihan dan kesehatan.

(3)       Pemerintah bersama pemerintah daerah menyelenggarakan pasar hortikultura secara berkala.

Pasal 86

(1)       Pemerintah bersama pemerintah daerah dan pelaku usaha melakukan promosi secara terus menerus untuk meningkatkan:

  1. kepedulian masyarakat pada produk dan jasa hortikultura;
  2. minat para investor;
  3. pangsa pasar; dan
  4. wisata agro.

(2)       Promosi pada ayat (1) dilakukan di dalam negeri dan di luar negeri.

BAB XI

MANAJEMEN KELEMBAGAAN

Pasal 87

(1)       Pemerintah menyelenggarakan lembaga yang mengurus hortikultura yang diurus oleh seorang pejabat setingkat minimal eselon satu.

(2)       Setiap pemerintah daerah harus memiliki dinas hortikultura

(3)       Setiap kecamatan harus memiliki lembaga penyuluhan hortikultura.

(4)       Setiap kelurahan/desa di kawasan hortikultura harus mempunyai pusat informasi hortikultura.

Pasal 88

(1)       Pelaku usaha dianjurkan membentuk organisasi yang dilandasi dengan semangat dan minat yang sama.

(2)       Organisasi pada ayat (1) dibagi berdasarkan kelompok:

  1. komoditas
  2. segmen usaha
  3. profesi

(3)       Organisasi pada ayat (1) harus berbadan hukum dengan visi dan misi yang terkait pada hortikultura.

(4)       Organisasi pada ayat (2) wajib mendaftar ke lembaga pemerintah yang ditunjuk untuk mengurus organisasi pelaku usaha hortikultura.

(5)       Organisasi tersebut pada ayat (3) wajib memberikan laporan tahunan tentang kegiatannya.

Pasal 89

Klasifikasi organisasi adalah sebagai berikut:

  1. Organisasi nasional
  2. Organisasi regional
  3. Organisasi lokal

Pasal 90

(1)       Dewan Hortikultura Nasional adalah badan permusyawaratan dari seluruh organisasi nasional sebagaimana dimaksud pada Pasal 89 ayat (1).

(2)       Lembaga Pembiayaan Hortikultura Nasional adalah lembaga yang mengurus pengelolaan dana iuran pembangunan hortikultura (IPH).

Pasal 91

(1)       Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan fasilitas untuk pembentukan dan pengembangan organisasi-organisasi tersebut.

(2)       Pemerintah dan pemerintah daerah membina kegiatan organisasi-organisasi tersebut.

Pasal 92

Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi pelaku usaha hortikultura, Dewan Hortikultura Nasional dan Lembaga Pembiayaan Hortikultura Nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XII

PELIBATAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal  93

(1)       Masyarakat adalah subjek dari hortikultura.

(2)       Pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku usaha menyusun dan mengimplementasikan program yang melibatkan masyarakat.

(3)       Masyarakat wajib menjalankan program yang sudah disepakati bersama.

Pasal 94

(1)       Peran serta masyarakat berupa usulan, tanggapan, keberatan dan saran.

(2)       Penyampaian dari ayat (1) dilakukan melalui organisasi.

BAB XIII

PENELITIAN

Pasal 95

(1)       Penelitian hortikultura wajib diselenggarakan.

(2)       Kewajiban pada ayat (1) dilakukan oleh  pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama.

Pasal 96

(1)       Kegiatan penelitian dapat dilakukan di dalam dan di luar negeri di semua  bidang hortikultura.

(2)       Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan dan pengembangan hortikultura Indonesia.

Pasal 97

(1)       Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang melakukan penelitian hortikultura di Indonesia wajib mendapatkan izin dari Menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

(2)       Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan penelitian harus bekerja sama dengan peneliti atau lembaga penelitian dalam negeri.

Pasal 98

Kerjasama penelitian dengan orang perseorangan dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) dapat dilakukan apabila ada transfer teknologi dan pengetahuan dalam kegiatan penelitian.

Pasal 99

(1)       Hasil penelitian yang dilakukan orang perseorangan dan/atau badan hukum asing di Indonesia adalah milik bersama dengan mitra kerjasamanya dan pemerintah.

(2)       Laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diserahkan kepada Menteri.

(3)       Pengeluaran, penggunaan dan publikasi hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.

Pasal 100

Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat mengembangkan kerja sama antara lembaga penelitian hortikultura  di dalam dan di luar negeri.

Pasal 101

Pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual di bidang hortikultura sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 102

(1)       Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah wajib memberikan insentif bagi penelitian hortikultura yang dapat bermanfaat besar.

(2)       Insentif hanya diperuntukkan bagi orang perseorangan atau badan hukum dalam negeri.

(3)       Insentif pada ayat (1) diberikan melalui program penelitian  unggulan nasional dan/atau daerah.

(4)       Bentuk dan besarnya Insentif yang diberikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)  ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

BAB XIV

TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 103

(1)       Dalam penyelenggaraan hortikultura Pemerintah bertugas dan berwenang :

  1. menetapkan kebijakan nasional hortikultura
  2. menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang hortikultura;
  3. merencanakan dan menetapkan  kawasan hortikultura;
  4. mendaftar dan mendokumentasikan materi genetika hortikultura;
  5. mengembangkan SDM hortikultura;
  6. membangun prasarana hortikultura;
  7. memberikan informasi pasar;
  8. memberikan fasilitasi untuk meningkatkan mutu produk;
  9. memberikan insentif bagi pelaku usaha;
  10. menetapkan standar, melakukan akreditasi atas kelayakan, dan pengawasan terhadap  pengolahan hortikultura;
  11. memfasilitasi organisasi pelaku usaha hortikultura;
  12. memfasilitasi distribusi produk hortikultura;
  13. melindungi produsen hortikultura dari pungutan;
  14. menyelenggarakan penelitian;
  15. menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air;
  16. mengembangkan kerjasama antar lembaga penelitian;
  17. melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura;

(2)       Dalam penyelenggaraan hortikultura pemerintah daerah berwenang :

  1. menerbitkan izin usaha perkebunan menengah hortikultura;
  2. membangun sistem dan prasarana hortikultura;
  3. memberikan informasi pasar;
  4. merencanakan dan menetapkan  kawasan hortikultura;
  5. memberikan fasilitasi untuk meningkatkan mutu produk;
  6. memberikan insentif bagi pelaku usaha;
  7. memfasilitasi asosiasi usaha hortikultura;
  8. memfasilitasi distribusi produk hortikultura;
  9. melindungi produsen hortikultura dari pungutan;
  10. menyelenggarakan penelitian
  11. mengembangkan kerjasama antar lembaga penelitian;
  12. menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air;
  13. melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura.

BAB XV

PENGAWASAN

Pasal 104

(1)       Pemerintah pemerintah daerah,   dan/atau masyarakat  melakukan pengawasan terhadap hortikultura, antara lain dalam:

  1. perencanaan;
  2. pewilayahan;
  3. pemanfaatan sumberdaya alam;
  4. pengembangan sumberdaya manusia;
  5. pengadaan sumberdaya buatan;
  6. peningkatan konsumsi;
  7. pembinaan usaha;
  8. penataan perniagaan;
  9. manajemen kelembagaan;
  10. pelibatan peran serta masyarakat;
  11. penelitian;

(2)       Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

Pasal 105

Pemerintah menetapkan pedoman dalam melakukan pengawasan pada Pasal 104 ayat (1).

Pasal 106

Pengawasan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 104 dapat dilakukan melalui:

  1. pelaporan;
  2. pemantauan;
  3. evaluasi;

Pasal 107

(1)       Pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 106 huruf a meliputi kinerja perencanaan, pemanfaatan, pengadaan, pelaksanaan, pengembangan, penataan, manajemen, pelibatan peran masyarakat, penelitian.

(2)       Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

(1)       Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dan huruf c dilakukan dengan mengamati dan memeriksa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dengan pelaksanaan di lapangan.

(2)       Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan, Pemerintah wajib mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 109

Hasil pengawasan dapat dijadikan acuan bagi perencanaan periode berikutnya.

Pasal 110

(1)       Pemerintah mengawasi peredaran dan penggunaan sarana produksi dan teknologi hortikultura pada ayat (1)

(2)       Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan pengawasan standar mutu produk dan jasa hortikultura.

(3)       Petunjuk pelaksanaan pengawasan standar mutu produk dan jasa hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.

BAB XVI

PENYIDIKAN

Pasal  111

(1)       Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hortikultura, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang hortikultura.

(2)       Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:

  1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang hortikultura;
  2. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang hortikultura;
  3. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang hortikultura;
  4. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang hortikultura;
  5. membuat dan menandatangani berita acara;
  6. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang hortikultura.

(3)       Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XVII

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 112

(1)       Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 31 ayat (2) dan ,ayat (3), Pasal 36 ayat (2) sampai dengan ayat (5),  Pasal 40 ayat (1),  Pasal 42, Pasal 44 ayat (5), Pasal 47 ayat (1), Pasal 49 ayat (2) sampai dengan (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (2),  Pasal 59 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 60, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 65,  Pasal 66 ayat (2), Pasal 67 ayat (2), Pasal 68 ayat (4), Pasal 72 ayat (1),  Pasal 73,  Pasal 75, Pasal 77 ayat (2) dan ayat (3),  Pasal 78 ayat (1), Pasal 79,  Pasal 80 ayat (2), Pasal 85, Pasal 87 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Pasal 88 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (4), Pasal 98, dan Pasal 99 ayat (2)  dikenai sanksi administratif.

(2)       Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian  sementara kegiatan;
  3. penutupan usaha;
  4. pencabutan izin;
  5. penarikan produk dari peredaran; dan/atau
  6. denda  administratif.

(3)       Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi, besarnya  denda, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 113

(1)       Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan hortikultura didalam kawasan konservasi, terkecuali untuk kegiatan penelitian atau konservasi, dipidana  dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2)       Setiap orang yang dengan sengaja menebang pohon induk tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dipidana  dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(3)       Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan sumberdaya genetik hortikultura yang terancam punah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(4)       Dalam hal pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) adalah pejabat, maka pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok.

Pasal 114

Warga negara asing yang bekerja di Indonesia tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 115

Setiap produsen, distributor dan pengecer yang tidak dapat mempertanggungjawabkan persyaratan dan/atau standar mutu sarana produksi dan/atau teknologi hortikultura yang diedarkannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 116

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dan  mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat dan/atau kelestarian fungsi lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar  rupiah).

Pasal 117

Setiap pelaku usaha budidaya hortikultura yang dengan sengaja melakukan budidaya jenis tanaman yang merugikan kesehatan masyarakat dan/atau kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar  rupiah).

Pasal 118

Setiap orang yang dengan sengaja mengekspor produk hortikultura dari varietas yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar  rupiah).

Pasal 119

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan  produk hortikultura segar tertentu asal impor yang sudah melebihi masa tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 120

Setiap orang yang dengan sengaja mengimpor produk hortikultura diluar  pelabuhan tertentu dan/atau pada masa tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 121

Setiap importir yang dengan sengaja tidak membayar iuran pembangunan hortikultura (IPH) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar  rupiah).

Pasal 122

Setiap orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang dengan sengaja melakukan penelitian tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 123

Setiap orang yang dengan sengaja mengeluarkan dari dan/atau mempublikasikan dan/atau menggunakan hasil penelitian yang dilakukan oleh orang perseorangan dan/atau badan hukum asing di Indonesia tanpa persetujuan tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

.

BAB XIX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 124

Peraturan pelaksana Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 125

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta,

pada tanggal …

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ….NOMOR …./21/12/09

Comments»

1. Sri Esti Haryanti - April 9, 2010

Yth Bpk Toni
Bersama ini kami menyampaikan usulan perbaikan RUU Hortikultura yang dibahas pada tanggal 6 April 2010, khususnya untuk Bagian Perbenihan.

Terimakasih

Sri Esti Haryanti
Staff Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi
Ditjen Hortikultura.

Bagian Ke- dua
PERBENIHAN
Pasal 55

(1) Usaha perbenihan harus dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat profesi dan/atau sertifikat kompetensi, atau badan usaha yang terakreditasi dalam bidang perbenihan.
Usaha perbenihan dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang bersifat perorangan, badan hukum, maupun pemerintah dengan persyaratan tertentu sebagai produsen benih.
(2) Usaha perbenihan dilakukan melalui upaya pemuliaan, perbanyakan materi tumbuhan, serta introduksi dari luar negeri.
Usaha perbenihan dilakukan untuk penyediaan benih bermutu secara cukup dan berkesinambungan untuk pengembangan budidaya hortikultura, melalui upaya pemuliaan, perbanyakan dan atau introduksi dari luar negeri.
(3) Persyaratan sebagai produsen yang dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah.

Pasal (56)

(1) Introduksi dari luar negeri dapat berupa benih atau materi induk untuk pemuliaan.
(2) Introduksi pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum maupun Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal 56 (57)

(1) Varietas – varietas lokal yang ada di daerah wajib didaftarkan oleh pemerintah daerah kepada Pemerintah.
(2) Hasil upaya pemuliaan dan introduksi berupa varietas baru dan unggul wajib didaftarkan kepada Pemerintah.
(3) Kebenaran dan keunggulan varietas sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan (2) yang akan diedarkan diuji oleh lembaga penguji yang kompeten yang mewakili kepentingan pembudidaya.
(4) Persyaratan dan tata laksana lembaga penguji pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Untuk varietas yang sangat dipengaruhi oleh selera konsumen dan jenis yang strainnya mudah
berubah dikecualikan dari pengujian, seperti dimaksud pada ayat (3).
(5) Tatacara pendaftaran seperti dimaksud pada ayat (1) dan (2), persyaratan dan tatalaksana lembaga penguji pada ayat (3) serta ketentuan pada ayat (4) akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal (58)

(1) Varietas yang telah memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud pada pasal 57ayat (3), akan dilepas oleh Menteri Pertanian.
(2) Pelepasan menjadi tanggungjawab pemilik varietas atau kuasanya
(3) Pemilik varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pemerintah mengenai pelepasan dan peredaran varietas.
(4) Bagi varietas dan jenis seperti yang dimaksud pada pasal 57 ayat (4) tidak perlu dilepas oleh Menteri Pertanian.
(5) Tata cara pelepasan akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah.

Pasal 58 (59)

Perlindungan varietas tanaman dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
(1) Benih yang varietasnya telah didaftarkan dan atau dilepas, apabila akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan Pemerintah dan wajib diberi label.
(2) Ketentuan mengenai syarat – syarat dan tata cara sertifikasi, pelabelan serta peredaran benih hortikultura diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal (60)

(1) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemerintah atau badan hukum berdasarkan ijin.
(2) Ketentukan mengenai persyaratan dan perizinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal (61)

Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran benih hortikultura.

Pasal (62)

Pemerintah dapat melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih tanaman tertentu yang merugikan masyarakat, budidaya tanaman, sumberdaya alam lainnya, dan/atau lingkungan hidup.

Pasal (63)

(1) Pengeluaran benih hortikultura dari atau pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib mendapatkan izin.
(2) Pemasukan benih dari luar negeri yang langsung diperdagangkan harus memenuhi standar mutu benih hortikultura.
(3) Pengeluaran dan pemasukan benih seperti yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah

Bagian Ke-tiga
Pupuk dan Bahan Pengendali OPT
Pasal 59

(1) Usaha menengah dan besar produsen pupuk dan bahan pengendali OPT wajib melaporkan jumlah produksi setiap bulan.
(2) Usaha menengah dan besar distributor dan pengecer pupuk dan bahan pengendali OPT wajib melaporkan jumlah penjualannya setiap bulan.
(3) Usaha menengah dan besar budidaya hortikultura wajibmelaporkan penggunaan pupuk dan bahan pengendali OPT setiap enam bulan.
(4) Laporan yang dimaksud pada ayat (3) berisi antara lain : nama , jenis, jumlah, waktu penggunaan.


Leave a reply to Sri Esti Haryanti Cancel reply